Assalamu'alaikum...Syukron katsir udah berkunjung k blog Gadis Bjb... ^_^


Pantai Swarangan Kalimantan Selatan

Pantai Swarangan Kalimantan Selatan

Sabtu, 21 Januari 2012

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN IPS MELALUI PELESTARIAN KEBUDAYAAN BANJAR (PERKAWINAN DAN KATA TABU/PAMALI)

A. PERKAWINAN ADAT BANJAR KALIMANTAN SELATAN
1) Gambaran Umum
Suatu kehidupan yang paling menarik dan tak pernah terlupakan bagi pribadi seseorang adalah acara perkawinan. Oleh sebab itu, perkawinan selalu ditandai dengan sifatnya yang khas dan unik yang merupakan suatu tata adat tradisional bagi setiap suku bangsa. Adat istiadat yang menurut kurun waktunya sangat menonjol, adalah sekitar abad ke 18, suatu gambaran yang dapat dinilai secara fisik maupun psikis yang merupakan pembauran antara peninggalan zaman Hindu, Islam dan pengaruh asing lainnya. Secara kronologis, peristiwa adat perkawinan menurut adat istiadat Suku Banjar adalah sebagai berikut :
1. Basasuluh
Apabila seorang anak laki-laki telah sampai masanya akil balig atau dewasa, lazimnya orang tua merundingkan dengan keluarga terdekat siapa gerangan yang cocok atau pantas menjadi calon istri dari anaknya (sebagai calon menantunya). Untuk itu dilakukanlah sebuah adat “basasuluh”, yakni ingin mendapatkan keterangan tentang calon istri yang diinginkannya, yang umumnya didasarkan atas pilihan orang-tua dengan persetujuan keluarga dan anak muda itu sendiri. Hal-hal yang menjadi penyelidikan itu umumnya meliputi hal-hal sebagai berikut :
 Tentang agamanya, apakah dia dari keturunan keluarga yang taat menjalankan ibadah agamanya (Islam).
 Tentang keturunannya, apakah dia dari keturunan keluarga yang baik budi pekertinya, penyabar, bertangung jawab, dll.
 Tentang kemampuan rumah-tangganya, apakah dia dari keluarga yang kaya atau kurang mampu.
 Tentang kecantikan wajahnya.
Dari empat hal tersebut di atas yang menjadi titik tumpu perhatiannya adalah tentang agamanya dan keturunannya. Sebaliknya bagi keluarga calon isteri di samping hal diatas,akan memperhatikan pula apa pekerjaan calon suaminya, sebab pekerjaan itu akan turut menentukan nilai rumah tangganya kelak. Pekerjaan basasuluh ini biasanya dilakukan oleh seorang wanita yang dituakan. Wanita ini tidak datang dengan sengaja ke rumah calon mempelai perempuan. Sambil berbincang-bincang santai, wanita ini menyelipkan pertanyaan mengenai calon mempelai perempuan, apakah sudah ada empunya atau sudah ada ikatan dengan orang lain. Jika ternyata belum, maka akan dilanjutkan ke tahap bedatang (bapara).
2. Badatang (Bapara)
Pihak keluarga pria terlebih dahulu memberitahukan waktu kedatangannya kepada keluarga perempuan. Pada hari yang telah dianggap baik, datang beberapa orang keluarga pria, ke rumah calon isteri yang disebut dengan “badatang” atau “bapara”, yakni melamar secara resmi, kemudian lahirlah dialog yang mempunyai prosa liris bahasa Banjar yang umumnya sebagai berikut:
- Banyak-banyak minta maaf, minta ampun amun tasalah, kami handak umpat batakun.
+ Sama-sama banyak dimaafi, banyak diampuni. Nangapa garang tatakunan sampian barataan nang sudi datang manjanguk pundut kami nag di unjut sini.
- Nang handak ditakunakan, si Galuh anak si Anu. Ibarat jukung tu adakah sudah nang manali-i, ibarat kambang tu adakah sudah nang manampahi.
+ Jukung kami balum batali, kambang kami balum ditampahi urang.
- Banyak-banyak minta ampun. Ada pang hajat kami handak umpat batanam nyiur di watas alkah sampian, mudahan talurui lawan kahandak Tuhan.
Acara badatang ini juga kadang diisi dengan baturai pantun, yakni berbalas pantun antara keluarga pihak calon. Kemudian dilanjutkan dengan menanyakan “jujuran” (mas kawin), dan tenggang waktu berapa hari lagi akan melaksanakan upacara “Maatar jujuran (Maatar Patalian)”. Maatar patalian ini dilakukan sebelum melangsungkan acara pernikahan, yakni suatu upacara kecil menyampaikan tanda bukti ikatan dari calon suami dengan menyerahkan “ataran” berupa pakaian luar dalam calon mempelai wanita dari ujung rambut sampai ujung kaki “saraba salambar”, lengkap dengan “pakakas pamupuran” (alat make up). Dalam acara ini kadang-kadang diisi dengan pantun antara kedua belah pihak keluarga. Adat urang Banjar tidak mengenal istilah bertunangan atau berpacaran. Istilah “balarangan” sebenarnya tidak sama dengan istilah “tunangan”, karena balarangan adalah suatu perencanaan ancang-ancang para pihak orang tua masing-masing, ketika kedua anak masih remaja. Balarangan berarti terlarang bagi orang lain. Menurut adat, seorang gadis yang akan kawin tidak diperkenankan keluar dari rumah selama 40 hari sebelumnya. Inilah yang disebut adat “dipingit”. Selama dipingit, dia harus membersihkan diri, berlangsing atau mempercantik dirinya, yang disebut dengan istilah “bakasai” sekaligus dia diberikan nasihat-nasihat berumah tangga oleh keluarganya.
3. Banikahan
Nikah adalah upacara keagamaan (agama Islam) untuk melangsungkan ijab kabul dihadapan penghulu dan saksi-saksi. Calon pengantin pria diantar oleh serombongan keluarga, famili dan sahabat-sahabatnya ke rumah calon mempelai perempuan yang benar-benar memberikan situasi keagamaan dengan pengajian ayat suci Al Qur’an. Calon suami berpakaian jas tanpa dasi berkain sarung dan berkopiah hitam. Dia duduk menghadapi penghulu pada susunan kain batik tumpang 5 atau 7 berbentuk sudut delapan. Calon suami yang telah sah menjadi suami itu kembali pulang ke rumahnya bersama rombongan pendamping atau pengantar tadi.
4. Batimung
Bagi pengantin pria maupun wanita bahkan terutama menjelang hari persandingan dua atau tiga hari sebelumnya, harus melaksanakan mandi uap yang dikenal dengan istilah “batimung”. Caranya adalah sambil duduk di bangku kecil, badannya ditutupi dengan gulungan tikar purun, kecuali kepalanya dan dibungkus lagi dengan kain tebal selama beberapa puluh menit. Antara kedua kaki tempat dia duduk, diletakkan sebuah kuantan tanah atau panci yang berisi air panas dengan “jajarangan” yaitu berisi ramuan daun lengkuas, daun dilam, pudak, serai wangi, limau purut, bunga-bungaan seperti mawar, kenanga, cempaka melati, dll. Tukang timung atau panimungan biasanya telah lengkap menyediakan “urung katupat” yang berisi rarampahan keperluan batimung tersebut. Dengan batimung ini akan menguras habis keringat tubuh, menyehatkan dan mengharumkan tubuh pengantin tersebut. Dengan demikian pada saat bersanding nanti diharapkan pengantin tidak akan berkeringat lagi. Kadang-kadang batimung ini dilakukan sampai 3 malam berturut-turut baik bagi pengantin pria maupun pengantin wanita.
5. Bamandi-mandi pangantin
Pada waktu pagi hari menjelang acara persandingan siang, pengantin wanita melangsungkan acara bamandi-mandi pangantin dengan air yang ditaburi berbagai macam bunga. Pada daerah kuala, kadang-kadang disebut dengan istilah ‘badudus” atau “bapapai”(dipapai dengan mayang pinang). Kemudian diberi kain kuning untuk keperluan acara mandi-mandi tersebut. Bagi keluarga yang kaya atau dari satu keturunan tertentu, pengantin wanita mandi dengan didudukkan di atas tanduk kerbau (kerbau yang disembelih untuk pesta perkawinan). Pengantin wanita dimasukkan ke dalam pagar mayang dari empat penjuru batang manisan tebu dan ditutup dengan langit-langit kain kuning. Air mandi dari bunga-bunga tabur seperti mawar, melati, kenanga, cempaka, kacapiring, dilengkapi dengan kujamas langir, kasai kuning dan air mayang pinang. Persediaan air mandi-mandi terdiri atas tiga wadah yaitu banyu tutulak berisi daun kambang, banyu mayang pinang, dan banyu yasin. Acara ini dilakukan oleh tiga orang wanita tua yang telah berpengalaman, yang umumnya dipimpin oleh seorang bidan kampung atau wanita tua lainnya. Selesai mandi, pengantin wanita disuruh menjejak telur ayam sampai pecah dengan ujung tumitnya. Ketika itu juga, pengantin wanita tersebut dicukur yaitu dikenal dengan istilah “balarap”, membikin cacantung pada kiri kanan wajahnya. Biasanya kemudian diikuti acara selamatan kecil dengan nasi lemak (ketan) berinti gula merah dan pisang mahuli. Tetapi pada kurun waktu terakhir, acara menjejak telur ayam ini dihapus karena dianggap mubazir dan tidak sesuai dengan syariat Islam.
6. Batapung tawar
Setelah acara bamandi-mandi, dilakukan acara “Batapung tawar” yang dimaksudkan seagai penebus atas berakhirnya masa perawan bagi seorang wanita. Untuk itu disediakan apa yang dinamakan “piduduk”, yaitu seperangkat keperluan pokok bahan makanan dalam wadah sasanggan (bokor kuning) yang terdiri dari sagantang beras, sebiji nyiur, gula merah, seekor ayam betina hitam, telur ayam 3 butir, lading, lilin, sebiji uang bahari (perak), jarum dengan benangnya, sesuap (sirih), rokok daun dan rerempah dapur. Isi piduduk : beras melambangkan rezeki, nyiur lambang lemak (kehidupan), gula merah lambang manis (kehidupan), ayam lambang cangkal bacari, telur ayam lambang sumsum, lading makna semangat yang keras, lilin lambang penerangan, uang lambang persediaan dalam hidup, jarum dan benang lambang ikatan suami-isteri, sesuap sirih lambang kesatuan, rokok daun lambang kelaki-lakian, rerempah dapur lambang keterampilan kerja di dapur. Piduduk ini nantinya akan diberikan seluruh isinya kepada bidan kampung yang memimpin acara bamandi-mandi tersebut. Dalam acara Batapung tawar tersebut, diisi dengan selamatan kecil yang dihadiri keluarga wanita terdekat dengan suguhan air teh manis atau kopi dengan bubur habang, bubur putih, cucur, wadai gincil, wadai galang dan lakatan bahinti.
7. Batamat Al Qur’an
Baik pengantin pria maupun pengantin wanita pada waktu siang menjelang persandingan biasanya melangsungkan acara Batamat Al Qur’an, yakni membaca akhir dari Kitab Suci Al Qur’an sebanyak 22 surah yang dimulai dari surah ke 93 (Ad-Dhuha) sampai dengan surah ke 114 (Annas) ditambah dengan beberapa ayat pada surah Al Baqarah dan ditutup dengan do’a khatam Al Qur’an. Ditempat itu disediakan sesajian yang terdiri dari nasi lemak kuning, wajik, telur dadar, telur itik rebus, dan dihiasi dengan bunga-bungaan kertas berupa kembang serai. Nasi lemak kuning itu dibentuk seperti gunungan kecil yang dipuncaknya ditaruh sebiji telur masak dilengkapi dengan telur masak pula disekelilingnya.
8. Walimah
Walimah adalah pesta dalam rangkaian acara-acara adat perkawinan tersebut. Besar kecilnya walimah ini tergantung kepada kemampuan keluarga masing-masing, apakah akan menyembelih satu atau dua ekor sapi atau kerbau ataukah cukup dengan beberapa puluh kg daging sapi saja. Setelah ditetapkan hari “duduk gawi” (hari pelaksanaan upacara perkawinan) biasanya ahli bait mengundang tetangga untuk berkumpul. Menurut adat orang Banjar maka “pohon” (ahli bait, tuan rumah) tidak aktif untuk bekerja dalam persiapan tersebut. Justru tetanggalah yang akan melaksanakan semua tugas-tugas. Untuk itu, dibentuklah semacam panitia non formal yang disusun secara lisan saja. Biasanya membagi-bagi tugas sebagai berikut:
 Nang jadi kepala gawi (Kepala Kegiatan)
 Nang maurus tajak sarubung (pengurus mendirikan bangunan tempat makan minum dan acara)
 Nang maurus pangawahan (pengurus memasak nasi dan lauk)
 Nang maurus galas piring (pengurus barang pecah belah)
 Nang maurus karasmin (pengurus kesenian)
 Nang basaruan lalakian (pengundang untuk tamu pria)
 Nang basaruan bibinian (pengundang untuk tamu wanita)
 Nang manarima saruan (para penerima tamu)
Pada zaman dulu, tidak lazim mencetak surat undangan seperti sekarang ini, karena undangan yang hanya secara lisan tersebut dianggap lebih afdhal dan bersifat kekeluargaan. Terlihat sekali sifat kegotong-royongan pada pelaksanaan upacara adat ini. Dalam pelaksanaan setiap tugasnya, para tetangga yang membantu keluarga tersebut disuguhi masakan leluhur berupa “gangan gadang” yakni gulai dari bahan umbut batang pisang. Dengan gangan gadang ini dimaksutkan pengantin nanti selalu dingin, artinya hidup berumah tangga dengan ruhui rahayu dalam suasanan tenang. Sedangkan hidangan untuk tamu, disuguhkan jenis makanan lauk pauk daging atau ayam dalam sajian “naik lima” (lima macam) atau “naik pitu” (tujuh macam) seperti masakan yang disebut : masak habang, upur putih, upur habang, karih, gangan cindul, acar hintalu, sambal goreng, dll. Mungkin pula ditambah buah-buahan sesuai musimnya seperti rambutan, langsat dan manggis. Hidangan ini ditaruh di atas baki kuningan dan disajikan untuk makan sebanyak 4 sampai 6 orang dalam setiap hidangan yang dikenal dengan istilah “basaprah”.
9. Batatai
Batatai merupakan puncak dari upacara perkawinan yang mempersandingkan kedua pengantin di pelaminan (patataian). Ketika pengantin pria turun dari rumahnya untuk diantar ke rumah pengantin wanita, diiringi shalawat atas Nabi Muhammad SAW sebanyak tiga kali yang disahut oleh semua yang hadir di tempat itu. Beras kuning ditaburkan ke udara bersama uang kecil yang diperebutkan oleh anak-anak. Sekelompok rombongan penari sinoman hadrah yang terdiri dari beberapa puluh orang pria memukul rebana dengan irama yang khas, diikuti paduan suara syair-syair dari kitab Barzanji, mengiringi di belakang pengantin pria menuju rumah pengantin wanita. Payung ubur-ubur yang berjurai dengan benang mas (beratnya sekitar 20kg) itu diputar di atas kepala pengantin pria, sementara bendera-bendera kecil segitiga dalam berbagai warna dikibarkan ke kanan dan ke kiri sesuai dengan irama paduan suara syair tersebut. Kesenian lain yang biasanya mengikuti rombongan ini adalah satu unit kuda gipang, pencak silat, topeng atau papantulan. Setelah tiba di ujung rumah pengantin wanita maka terdengarlah lagi ucapan shalawat atas Nabi sebanyak tiga kali dengan taburan beras kuning pula. Pengantin wanita akan keluar menjemput suaminya di pangkal tangga dan bertukar kembang palimbaian. Sebelumnya, terjadi pula dialog antara seorang tokoh tua pembawa pengantin pria dengan tokoh tua pendamping pengantin wanita, yakni berupa berbalas pantun bahasa daerah Banjar yang berisikan seputar perkawinan tersebut.Kemudian kedua pengantin disandingkan di pelaminan yang masing-masing diapit oleh wanita pengantar dan pendamping kedua pengantin. Pada saat persandingan itu, diadakan lah prosesi “batawak nasi lamak” antara kedua pengantin. Caranya adalah salah seorang wanita tua disitu mengambil sekepal nasi hadap-hadap (nasi lemak dari beras ketan berwarna kuning) dan menyerahkannya ke tangan pengantin pria. Segera dia melemparkannya kepada pengantin wanita yang melemparkan kembali kepada pengantin pria. Pada saat itu terdengarlah riuh gelak tawa para hadirin yang menyaksikan adegan unik tersebut. Sementara itu, para gadis remaja berebutan mengambil kepalan nasi lemak tadi untuk segera dimakan. Konon, bagi yang beruntung mendapatkannya akan segera mendapatkan jodoh pula. Di samping acara batawak, kadang diselipkan acara “Bahurup sasuap”, yakni bertukar suapan sirih antara kedua pengantin. Akan tetapi pada masa sekarang, acara bahurup sirih ini telah hilang karena generasi sekarang tidak pandai makan sirih. Sebagai gantinya adlah bertukar suapan kue pengantin. Kemudian dilanjutkan dengan acara batapung tawar yang dilakukan oleh 3-4 orang wanita/pria tua ditempat itu, yakni dengan menyentuhkan minak harum tapung tawar pada ubun-ubun kedua pengantin sambil mengucapkan shalawat ats Nabi Muhammad SAW sebagai tanda do’a restu kepada pengantin. Pada waktu dulu juga dilengkapi dengan “papadahan” atau nasehat dari orangtuanya. Selang beberapa menit kemudian, kedua pengantin melakukan sujud kepada kedua orangtua pengantin wanita dan diteruskan kepada seluruh anggota keluarga yang ada di tempat itu seperti kakek, nenek, paman, bibi dan saudara tertua. Setelah itu kedua pengantin diajak untuk makan nasi hadap-hadap atau nasi astakona bersama-sama. Kedua suami isteri baru itu, kemudian diturunkan dari rumahnya untuk acara yang paling menarik dan menjadi tontonan warga yakni acara “usung jinggung”. Acara ini bisa dilaksanakan sebelum atau sesudah kedua pengantin bersanding. Dua orang pria pausungan yang biasanya telah berpengalaman dalam acara ini akan meusung kedua pengantin tersebut di atas pundaknya masing-masing dan menari menurut irama bunyi gamelan kuda gipang. Konon, para pengusung itu mempunyai ilmu dalam kekuatan fisik mengangkat dan menari dalam waktu yang lama. Selesai acara usung jinggung, kedua pengantin akan diarak bersama-sama menuju ke rumah orangtua pria. Kedua suami isteri muda ini melakukan sujud pula kepada orangtua pengantin pria dan anggota keluarga yang lain untuk meminta do’a restu atas perkawinan mereka. Di tempat ini acara tidak lama dan kadang juga disuguhkan minum teh dan kue, kemudian kedua pengantin dan rombongan kembali ke rumah semula pihak keluarga wanita. Setelah selesai seluruh prosesi ini biasanya diadakan pesta kenduri selama 3 hari 3 malam yang menampilkan kebudayaan khas Banjar seperti mamanda, wayang kulit Banjar, madihin, dsb.
2) Implementasi dalam pembelajaran IPS di SMP
Standar Kompetensi : Memahami Perubahan Sosial Budaya
Kompetensi Dasar : Mendeskripsikan perubahan sosial-budaya pada masyarakat
Kelas/Semester : IX SMP / Ganjil

Perubahan sosial adalah variasi cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan, komposisi penduduk, ideologi maupun difusi, akulturasi dan asimilasi. Sedangkan perubahan kebudayaan menyangkut variasi dalam implementasinya di bidang kesenian, iptek, filsafat, termasuk bentuk serta aturan organisasi/pranata sosial. Ada beberapa kecenderungan perubahan kebudayaan dalam masyarakat, yaitu:
 Setiap kebudayaan cenderung bertahan.
 Setiap kebudayaan juga cenderung berubah karena kehidupan manusia juga berubah.
 Kebudayaan dalam masyarakat cenderung untuk melakukan perubahan dan perbaikan.
Suku Banjar sebagai salah satu suku bangsa Indonesia di Kalimantan Selatan juga mempunyai tata cara keadatan tentang peristiwa perkawinan tersebut. Meskipun dalam proses pelaksanaannya, telah terjadi berbagai perubahan evolusi seiring dengan perkembangan zaman dan peradaban. Berbagai bentuk perubahan tata cara adat perkawinan suku Banjar misalnya:
 Inovasi
Inovasi adalah proses perubahan kebudayaan yang terjadi dalam waktu yang tidak lama dan berbentuk penemuan baru. Misalnya dalam prosesi Walimah (Pesta Perkawinan), kadang kala masyarakat perkotaan lebih menyukai mengadakan resepsi di gedung atau Ballroom hotel karena dianggap lebih praktis dari segi persiapan, katering makanan, dan kesiapan tempat. Berbeda dengan masyarakat pedesaan khususnya Hulu Sungai yang masih mempertahankan adat “duduk gawi”, yang keseluruhan prosesi perkawinan dibantu oleh tetangga dan dilaksanakan dengan penuh rasa gotong royong. Inovasi ini memang terjadi sebagai solusi kesibukan orang kota yang tidak mempunyai banyak waktu luang untuk melaksanakan upacara adat perkawinan, sehingga dianggap lebih praktis, namun tentu saja dapat menghilangkan sifat sosial berupa gotong royong dan kekeluargaan.
 Difusi
Difusi merupakan suatu proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu individu ke individu lainnya atau dari masyarakat yang satu ke masyarakat lainnya. Misalnya upacara perkawinan antara dua orang pengantin yang berbeda kebudayaan (sebut saja suku Banjar dengan Suku Jawa), terkadang dalam acara hiburannya, tidak hanya menampilkan bausung dan sinoman hadrah dari Banjar, tapi juga menampilkan kesenian wayang kulit pada malam harinya yang merupakan difusi dari suku Jawa.
 Akulturasi
Akulturasi adalah pertemuan dua kebudayaan yang berbeda dan saling mempengaruhi, sehingga bergabung menjadi kebudayaan baru, namun tidak menghilangkan ciri khas kebudayaan awal. Misalnya acara beselamatan yang dulu dipengaruhi oleh kebudayaan agama Hindu yang harus menyediakan berbagai jenis kue/wadai dan persembahan seperti bunga-bungaan/kembang rampai. Tradisi budaya Banjar yang merupakan akulturasi dari agama Hindu dan Islam menjadikan hidangan pada acara selamatan pengantin ini tidak lagi dianggap sebagai sesajen untuk dipersembahkan kepada Tuhan, tapi hanya sebagai “”syarat” dan pada akhir acara, dimakan bersama-sama.
 Asimilasi
Asimilasi ditandai oleh meleburnya dua kebudayaan yang berbeda, yang membentuk satu kebudayaan baru. Misalnya dulu pada prosesi menurunkan pengantin laki-laki dari rumah, disertai dengan shalawat dan dihamburkannya beras kuning beserta uang logam, namun sekarang perbuatan menghamburkan beras itu dianggap mubazir oleh Agama Islam, maka sebagai gantinya cukup diiringi shalawat dan dihamburkan bola-bola kecil yang terbuat dari gabus, sehingga tidak menghilangkan makna.

B. PAMALI (KATA-KATA TABU / PANTANGAN URANG BANJAR)
1) Gambaran Umum
Kata-kata tabu masih dikenal terutama oleh masyarakat pedesaan. Kata tabu itu pantang diucapkan. Di Kalsel, pantangan yang bersifat kata-kata mapun perbuatan dikenal dengan sebutan pamali. Orang yang melanggar pamali itu akan menerima akibat yang disebut “kepamalian”. Pendapat Fraze (dalam Polak, 1966) memandang bahwa setiap anggota masyarakat dalam dirinya memiliki kepercayaan kepada hal-hal gaib yang disebut magis sebagai sumber kepercayaan asal kepada yang gaib-gaib. Di sisi lain, manusia memiliki kemampuan yang disebut religi yaitu perilaku yang bersifat religius. Kronologis lapisan budaya yang berpengaruh :
 Unsur-unsur asli, yang terdiri atas agama Balian atau agama Kaharingan serta unsur-unsur religi lainnya.
 Unsur Melayu dan Jawa Budha.
 Unsur Islam dengan segala manifestasinya di bawah raja-raja Banjar.
 Unsur modern/sekarang.
Pamali merupakan takhayul dalam salah satu golongan besar yang berhubungan dengan masalah hidup manusia sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Wayland D. Hand dalam bukunya The Frank C. Brown Collection of North Carolina Folklore. Berdasarkan pendapat Hand ini pula pengelompokkan Pamali dalam masyarakat Banjar dibagi 12 kategori, yaitu:
 Berhubungan dengan kehamilan. Contoh : Urang batianan pamali bajalan malam, diganggu urang halus (Orang hamil jangan keluar malam, diganggu makhluk halus). Urang batianan pamali barabah di gaguling, anaknya bisa tahalang (Orang hamil jangan berbaring di guling, anaknya tidak bisa keluar karena posisinya melintang). Urang batianan pamali makan sambil badiri, pas tabahera (Orang hamil jangan makan sambil berdiri, saat melahirkan bisa buang air besar).
 Berhubungan dengan kelahiran. Contohnya adalah: Pamali duduk di tangga, bisa ngalih baranak (Jangan duduk di tangga, nanti sulit melahirkan). Pamali maandak wancuh di dalam panci nang batutup, bisa ngalih baranak (Jangan meletakkan sendok nasi di dalam panci tertutup, nanti sulit melahirkan). Pamali mangantup lawang, lamari atawa lalungkang, parahatan ada nang handak baranak, bisa ngalih baranak (Jangan menutup pintu, lemari atau jendela saat ada yang mau melahirkan, nanti sulit melahirkan).
 Berhubungan dengan masa anak-anak. Contohnya: Kakanakan imbah basunat pamali kaluar rumah, kaina lambat waras (Anak-anak yang baru dikhitan jangan keluar rumah, nanti tidak cepat sembuh). Kakanakan pamali bapenanan di barumahan, bisa babisul kapala (Anak-anak jangan bermain di kolong rumah, nanti bisa tumbuh bisul di kepalanya). Kakanakan nang balum bisa bajalan pamali mancaraminakan kakanakan nang balum bisa bajalan, kaina kakanaknya pangguguran (Anak kecil yang belum bisa berjalan jangan mencerminkan anak kecil yang belum bisa berjalan, nanti anak tersebut akan sering terjatuh).
 Berhubungan dengan pekerjaan rumah. Contohnya: Imbah makan pamali langsung barabah, bisa pangoler (Setelah makan jangan langsung berbaring, pemalas). Pamali mamirik sambal bagagantian, kaina sambalnya bisa kada nyaman (Jangan mengulek sambal berganti-ganti, nanti rasa sambalnya tidak enak). Pamali mancatuk burit urang, bamasak bisa kada nyaman (Jangan memukul pantat orang, memasak bisa tidak enak)
 Mata pencaharian atau rezeki. Contohnya: Pamali bagandang di meja atawa di tawing, bisa mangiaw hutang (Jangan menabuh meja atau dinding, bisa memanggil hutang). Pamali bahamburan nasi waktu makan, rajaki bisa tahambur-hambur ka lain (Jangan menghamburkan nasi saat makan, rezekinya bisa berhamburan ke tempat lain). Pamali bahera waktu sanja, hilang rajakinya (jangan buang air besar saat senja hari, hilang rezekinya),
 Berhubungan sosial. Contohnya: Pamali mahirup gangan di wancuh, calungap sandukan (Jangan menyeruput kuah sayur di sendok nasi, suka menyela pembicaraan orang).
 Berhubungan dengan cinta kasih. Contohnya: Babinian bujang bujang pamali maandak wancuh di dalam panci nang batukup, bisa lambat balaki (Bujangan jangan meletakkan sendok nasi di dalam panci yang bertutup, sebab akan lama mendapatkan jodoh).
 Berhubungan dengan kematian. Contohnya: Pamali bacaramin sambil barabah, bisa mati ditembak pater (Pantang bercermin sambil berbaring, bisa ditembak petir). Pamali bagambar batiga, bisa tapisah, nang di tangah badahulu mati (pantang berfoto bertiga, bisa terpisah, yang di tengah duluan mati).
 Berhubungan dengan pemeliharaan tubuh. Contohnya: Kakanak nangkuitannya tulak haji pamali mangibah kalambu, kaina kuitannya kaributan di tangah laut (Anak-anak yang orang tuanya pergi haji pantang mengibaskan kelambu, nanti orang tuanya kena badai topan di laut).
 Berhubungan dengan kehidupan rumah tangga. Contohnya: Pamali diumpati urang bacaramin, kaina laki/bini bisa dirabuti urang (Pantang diikuti orang bercermin, nanti suami/istri bisa direbut orang).
 Berhubungan dengan alam gaib. Contohnya: Pamali bajalan bajejer, bisa taranjah hantu (Pantang berjalan berjejer, bisa ditabrak hantu).
 Berhubungan dengan agama atau religi.Contonya: Pamali badadakuan malam, bisa dimainakan hantu (Pantang bermain daku di malam hari, bisa dimainkan hantu).
Ke-12 kategori ini memang tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan dan budaya masyarakat Banjar yang menjadi latar belakang munculnya kalimat pamali itu sendiri. Oleh karena itu fungsi pamali ini selain sebagai sarana pendidikan anak-anak dan remaja agar memiliki adab dan adat yang sesuai dengan tuntutan lingkungan sekitar yaitu Banjar atau bisa pula sekadar hiburan semata dalam artian kalimat pamali tersebut digunakan untuk hiburan karena alasan tertentu yang ada dalam kalimat yang dilantunkan oleh para tetua “Banjar” juga sekaligus sebagai penebal emosi keagamaan atau kepercayaan.
2) Implementasi dalam Pembelajaran IPS di SMP
Standar Kompetensi : Memahami Perubahan Sosial Budaya
Kompetensi Dasar : Menguraikan tipe-tipe perilaku masyarakat dalam menyikapi perubahan.
Kelas/Semester : IX SMP / Ganjil

Penerimaan masyarakat terhadap perubahan sosial budaya berbeda-beda. Ada yang mudah menerima, ada yang sulit. Pola pikir masyarakat yang tradisional mengandung unsur sebagai berikut :
 Bersifat sederhana
 Memiliki daya guna dan produktivitas rendah
 Bersifat tetap atau monoton
 Memiliki sifat irasional (tidak berdasarkan logika)
Pola pikir masyarakat modern :
 Bersifat dinamis
 Berdasarkan akal pikiran manusia dan senantiasa mengembangkan efisiensi dan efektivitas.
 Tidak mengandalkan atau mengutamakan kebiasaan atau tradisi masyarakat.
Kebudayaan Banjar berupa Pamali (kata-kata Tabu), kebanyakannya hanya dipercayai oleh masyarakat pedesaan yang masih memegang teguh adat istiadat dan nasihat tetuha kampung. Sedangkan masyarakat perkotaan kurang mempercayai hal-hal yang bersifat takhayul karena mereka berpikir secara nalar dan logika. Namun sebenarnya kita tetap tidak bisa menafikkan bahwa memang terkadang “Pamali” itu juga harus tetap diperhatikan. Hal ini disebabkan manusia yakin akan adanya kekuatan supranatural yang berada di luar alam mereka. Selain itu, masyarakat Banjar memang pada umumnya sangat kental akan pengaruh agama Islam dan kepercayaan lainnya. Pamali sebagai salah satu folklor lisan daerah Banjar ini memang pantas untuk dilestarikan sebagai aset daerah karena mengandung fungsi tertentu sekaligus refleksi atau mencerminkan salah satu sisi budaya yang dimiliki masyarakat Banjar. Sebagaimana fungsi folklor ini sendiri secara umum telah dikemukan oleh Bascom dalam Danandjaja (2002:32), folklor lisan pada umumnya memiliki fungsi sebagai sistem proyeksi, alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan, alat pendidikan anak dan masyarakat, alat pemaksa dan pengawas norma masyarakat agar selalu dipatuhi.





Daftar Pustaka

Seman, Syamsiar. 2003. Perkawinan Adat Banjar Kalimantan Selatan. Banjarmasin : Bina Budaya Banjar.
Saleh, Idwar, dkk. 1978. Adat Istiadat Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tidak ada komentar: